Monday, July 20, 2015

MANDI

Pengertian Mandi
Mandi menurut bahasa yaitu mengalirnya air secara mutlak, baik di anggota badan atau lainnya. Sedangkan menurut istilah Syara' ialah mengalirkan air ke seluruh tubuh dengan syarat-syarat tertentu dan disertai niat. Hal ini berdasarkan atas firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 6:
"...dan jika kamu junub maka mandilah" (Q.S Al-Maidah ayat 6)
Dalam islam, ada hal-hal yang menyebabkan kita melaksanakan mandi wajib, yaitu:
1. Ejakulasi (keluar sperma) dengan cara apapun.
Adapun kalau mani ini keluar ta pa syahwat, karena sakit,  kedinginan atau lain sebab maka mandipun tidak wajib, demikian ijma' para fuqaha. Jika bermimpi jima' (bersetubuh) tetapi tidak sampai mengeluarkan mani maka tidak wajib mandi.tetapi jika bangun tidur sehabis mimpi tersebut kemudian maninya keluar maka mandipun wajib dilakukan
2. Bertemunya dua khitan yakni bila kepala kemaluan laku laki masuk ke dalam farji perempuan meskipn tidak sampai mengeluarkan mani maka wajib mandi. Diantara para ulam .bersepakat bila laki laki telah meletakkan kemaluanya laki laki pada kemaluan perempuan tapi belum dimasukkan maka masing masing belum wajib mandi
3. Terhentinya darah nifas dan haid
4Mati, kecuali mati syahid dunia akhirat. Hal ini menurut pendapat Imam Syafi'i.
6. Baru masuk islam. Hal ini merupakan salah satu hal yang mewajibkan mandi menurut Madzhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali.
Adapun mengenai Rukun-rukun mandi ialah sebagai berikut:
1. NIAT
Para imam madzab sepakat bahwa niat merupakan rukun mandi. Kecuali Imam Hanafi yang menolak niat sebagai salah satu rukun mandi. Alasannya ialah beliau tidak menganggap niat sebagai syarat sahnya mandi.
2. Meratakan air ke seluruh badan.
Para Imam madzhab empat sepakat tentang hal ini, dan tidak ada aturan khusus dalam aplikasinya.
Dalam hal ini Imam Hanafi menambahkan agar berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung lalu dihembuskan kembali terlebih dahulu.
Sunnah-sunnah Mandi:
Menurut Imam Hanafi: Sunnah memulai dengan menyiramkan air dari kepala, anggota badan sebelah kanan, kemudian anggota badan sebelah kiri.
Menurut Imam Syafi'i dan Imam Maliki: Sunnah memulai siraman dari bagian atas tubuh selain farji (kemaluan). Untuk farji disunahkan agar membersihkannya lebih dahulu daripada semua anggota badan yang lain.
Menurut Imam Hanbali: Disunahkan mendahulukan anggota badan yang kanan.
SUMBER:  FIQIH WANITA KH SYAFI'I ABDULLAH

Sunday, July 19, 2015

DARAH NIFAS BAGI PEREMPUAN

NIFAS
Pada umumnya setelah melahirkan, wanit masih mengeluarkan darah.  Darah yang keluar sehabis melahirkan, sekalipun hanya berupa anak guguran asal sudah nyata sebagian bentuknya , itu disebut darah nifas.
LAMANYA DARAH NIFAS
masa nifas paling lama adalah 40 hari. Tidak ada ketentuan berapalamakah masa nifas yang paling singkat. Karena untuk mengetahui nifas memang tidak ada tanda lain selain melahirkan seorang anak.
Sebagian ulama menerangkan masa nifas ini.  Menurut madzhab Syafi'i masa nifas yang paling lama ialah 60 hari. Sedang 40 hari ialah umunya yang di alami oleh kaum wanita. Begitu juga madzhab Maliki berpendapat bahwa paling lama masa nifas yang terpanjang adalah 60 hari.
BERAPA LAMAKAH MASA NIFAS BILA MELAHIRKAN ANAK KEMBAR?
bila seorang ibu yang melahirkan anak kembar,  maka nifasnya dihitung sejak kelahiran anak pertama bukan dari anak kedua. Artinya sekalipun anak pertama dan kedua ada perbedaan waktu beberapa saat, maka masa nifas itu tetap,dihitung dari anak pertama, walaupun perbedaan waktunya itu mencapai sepanjang masa nifas yang paling lama.
Jadi andaikata seorang ibu melahirkan anak, dan setelah empat puluh hari melahirkan anak yang kedua,  maka darah yang keluar sesudah melahirkan anak yang kedua ini adalah darah penyakit yang tidak dianggap darah nifas. Pendapat Ulama yang bermadzhab Syafi'i bila seorang ibu melahirkan anak kembar, maka nifasnya dihitung dari kelahiran anak yang kedua.sedangkan darah yang keluar sehabis anak yang pertama tidak dianggap sebagai darah nifas. Tetapi darah haid bila bertepatan dengan saat datangnya haid seperti tiap bulan. Sedangkan kalau tidak demikian maka dianggap darah penyakit.
Umumnya di indonesia menggunakan pendapat Imam Syafi'i.
TERHENTINYA DARAH SELAMA MASA NIFAS
Kadang beberapa wanita mengalami nifas yang tidak lancar. Misalnya sehari keluar sehari tidak.menurut umala bermadzhab Syafi'i bahwa terhentinya darah yang keluar tidak teratur selama masa nifas,  maka itu terhitung darah nifas. Sekalipun itu terhentinya sampai 15 hari.tetapi kalau sudah melahirkan namun darah nifas tidak keluar dan ditunggu  selama 15 hari tidak keluar juga, maka hari hari itu semua dianggap suci. Dengan demikian seluruh kewajiban yang tertinggal wajib di qadha'.adapun jika sesudah ini kemudian keluar darah.maka darah itu darah haid bukan darah nifas. Jadi dalam kasus ini wanita tidak bernifas sama sekali.
HAL HAL YANG TIDAK BOLEH DILAKUKAN SELAMA MASA NIFAS
Hal hal yang dilarang dalam nifas adalah sama dengan larangan perempuan yang sedang haid. Yaitu shalat, puasa, masuk masjid, membaca Al quran thawaf dan bersetubuh.

SUMBER: FIQIH WANITA KH SYAFI'I ABDULLAH

Thursday, July 16, 2015

CARA RASULULLAH MENGUSIR JIN

Cara Rasulullah mengusir jin
Sunnah Rasulullah sudah jelas tuntunan rasulullah untuk mengusir jin dan menghadapi rumah angker dengan cara:

“Langkah pertama : lakukan bentakan ancaman kepada si jin
Mathr Ibnu Abdurrahman al-A’naq berkata: telah berkata pada saya Ummu Aban binti al-Wazi’ ibnu Zari ibnu ‘Amir al –‘Abdi dari bapaknya bahwa kakeknya yang bernama az-Zari’ datang kepada Rasulullah Muhammad SAW bersama seorang anaknya yang mengidap penyakit “gila”. Kakek saya berkata: ketika kami sudah sampau pada Rasulullah Muhammad SAW di kota madinag, maka saya berkata, “wahahi Rasulullah, sesungguhnya saya membawa seorang anak saya yang berpenyakit gila, maka saya sengaja datang kepada Engkau dan meminta agar Engkau berdoa kepada Allah untuk kesembuhannya,” Rasulullah Muhammad SAW berkata, “bawalah anak itu kemari” kemudian saya mengambilnya pada kendaraan dan melepaskan tali pengikatnya, lalu saya lepaskan pakaian perjalanannya, dan memakaikan padanya sepasang yang indah, saya membawanya kepada Rasulullah Muhammad SAW sehingga ketika saya sudah sampaiu dihadapannya, beliau berkata, “dekatkanlah ia kepada saya dan letakkan punggungnya dihadapan saya,” lalu ia memegang ujung dan pangkal kainnya dan memukul punggung anak itu sehingga kelihatan putih ketiaknya, sedangkan beliau berkata, “keluarlah wahai musuh Allah! Keluarlah musuh Allah!” Lalu anak tersebut kembali dapat melihat secara normal, tidak seperti pandangan yang biasanya. Rasulullah muhammad sawmendudukkan anaknya dihadapannya. Beliau berdoa untuknya dan mengusap mukanya (HR. At Thabrani)
(lihat juga pada majma’ az – Zawa, id 9:3)

langkah kedua: bacakan secara keras supaya terdengar orang itu atau dibisikkan ditelinga orang itu.
Ubai ibnu Ka’ab: pada suatu waktu, aku pernah bersama rasulullah, lalu datanglah seorang arab…, maka ia berkata “wahai Nabi Allah, sesungguhnya saya menpunyai seorang saudara yang berpenyakit,” Rasulullah Muhammad SAW bertanya, “apakah penyakitnya?” ia menjawab, “penyakit gila,” Rasulullah Muhammad SAW berkata “bawalah dia kepada saya.” Kemudian orang sakit itu didatangkan kehadapan Rasulullah Muhammad SAW, maka Nabi Muhammad SAW membaca doia perlindungan dengan surah al-fatihah dan empat ayat pertama dari surah al-Baqarah, ayat 163 dan 164 dari surah al-Baqarah, satu ayat 18 dari surat Ali ‘Imran, satu ayat 54 dari surat al-A’raf, satu ayat 116 dari surat al-Mukminin, satu ayat 3 dari surat al Jin, ayat 1 – 10 dari surah ash Shaffat, ayat 1 n- 3 surah al – Mu’min, ayat 29 – 32 al Ahqaaf, ayat 33 – 35 surah Ar Rahmaan, ayat 51 – 52 surah al Qalam, surah al Iklash, Surah al Falaq dan surah Annas. Kemudian laki – laki yang sakit itu berdiri seakaqn – akan ia tidak pernah ragu dengan dirinya (HR Ibnu Hiban)

Langkah ketiga: setelah pasien sadar sarankan secara rutin sebelum tidur melakukan sunnah sebagai berikut:
Berwudhulah sebelum tidur, baca surat al Iklash, al Falaq dan An-Nas. Lalu tiupkan kedua telapak tangan. Kemudian usapkan ke sekujur tubuh. Setelah itu bacalah ayat kursi. (HR Bukhari dari Abu Hyrairah)
Pengobatan gangguan jin pada rumah
Rasulullah muhammad bersabda, “sesungguhnya setiap rumah itu ada penghuninya (maksudnya jin; jika kalian melihat sesuatu daripadanya, maka berilah kesempatan baginya selama tiga hari, jika sudah lewat dari tiga hari dan ia belum pergi juga, maka bunuhlah dia, sebab itu adalah setan.” (HR. MUSLIM

Langkah pengusiran:
Rasulullah muhammad bersabda “bacakanlah surah al Baqarah di dalam rumahmu, karena sesungguhnya setan tidak akan masuk rumah yang dibacakan padanya surah al Baqarah.” (HR al Hakim dari ‘Abdullah Ibnu Mas’ud)
Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “sesungguhnya Allah SWT telah menuliskan sebuah kitab pada 2000 tahun sebelum diciptakanNya langit dan bumi ini; diantara isi kitab tersebut adalah dia ayat terakhir surah al baqarah, yang bila dibacakan pada sebuah ruimah selama tiga malam melainkan rumah tersebut tidak akan didekati oleh syetan” (HR Abu Hurairah). Semoga bermanfaat. Bagikan ke sahabatmu.

Wednesday, July 15, 2015

SEJARAH SHALAT 'IEDUL FITRI DAN 'IEDUL ADHAH

Jauh sebelum ajaran Islam turun, masyarakat Jahiliyah Arab ternyata sudah memiliki dua hari raya, yakni Nairuz dan Mahrajan. Kaum Arab Jahiliyah menggelar kedua hari raya itu dengan menggelar pesta pora. Selain menari-nari, baik tarian perang maupun ketangkasan, mereka juga bernyanyi dan menyantap hidangan lezat serta minuman memabukkan.
‘’Nairuz dan Mahrajan merupakan tradisi hari raya yang berasal dari zaman Persia Kuno?’’ tulis Ensiklopedi Islam.  Setelah turunnya kewajiban menunaikan ibadah puasa Ramadhan pada 2 Hijriyah, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan An-Nasa’i, Rasulullah SAW bersabda, ‘’Sesungguhnya Allah mengganti kedua hari raya itu dengan hari raya yang lebih baik, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.’’
Setiap kaum memang memiliki hari raya masing-masing. Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam Kisah Para Nabi dan Rasul, mengutip sebuah hadis dari Abdullah bin Amar, ‘’Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: ’’Puasanya Nuh adalah satu tahun penuh, kecuali hari Idul Fitri dan Idul Adha’.’’ (HR Ibnu Majah).
Jika merujuk pada hadis di atas, maka umat Nabi Nuh AS pun memiliki hari raya. Sayangnya, kata Ibnu Katsir, hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah itu sanadnya dhaif.  Rasulullah SAW membenarkan bahwa setiap kaum memiliki hari raya. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari,  pernah memarahi dua wanita Anshar memukul rebana sambil bernyanyi-nyanyi.
‘’Pantaskah ada seruling setan di rumah, ya Rasulullah SAW?’’ cetus Abu Bakar.
   
‘’Biarkanlah mereka wahai Abu Bakar! Karena tiap-tiap kaum mempunyai hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita,’’ sabda Rasulullah SAW.
Hari Raya Idul Fitri untuk pertama kalinya dirayakan umat Islam, selepas Perang Badar yang terjadi pada 17 Ramadhan 2 Hijiriyah. Dalam pertempuran itu, umat Islam meraih kemenangan. Sebanyak 319 kaum Muslimin harus berhadapan dengan 1.000 tentara dari kaum kafir Quraisy.
Pada tahun itu, Rasulullah SAW dan para sahabat merayakan dua kemenangan, yakni keberhasilan mengalahkan kaum kafir dalam Perang Badar dan menaklukkan hawa nafsu setelah sebulan berpuasa. Menurut sebuah riwayat, Nabi SAW dan para sahabat menunaikan shalat Id pertama dengan kondisi luka-luka yang masih belum pulih akibat Perang Badar.
Rasulullah SAW pun dalam sebuah riwayat disebutkan, merayakan Hari Raya Idul Fitri pertama dalam kondisi letih. Sampai-sampai Nabi SAW bersandar pada Bilal RA dan menyampaikan khutbahnya.
Menurut Hafizh Ibnu Katsir, pada Hari Raya Idul Fitri yang pertama, Rasulullah SAW pergi meninggalkan masjid menuju suatu tanah lapang dan menunaikan shalat Id di atas lapang itu. Sejak itulah, Nabi Muhammad SAW dan para sahabat menunaikan shalat Id di lapangan terbuka.
    Sebelum datangnya  Hari Raya Idul Fitri, umat Islam diwajibkan menunaikan zakat fitrah. Tepat pada 1 Syawal, kaum Muslim disunahkan melaksanakan shalat Id, baik di lapangan terbuka maupun di masjid, sebanyak dua rakaat dan kemudian dilanjutkan dengan khutbah.
    Hingga kini, Idul Fitri telah dilakukan kaum Muslimin sebanyak lebih dari 1.432 kali.  Di setiap wilayah atau daerah, umat Islam memiliki tradisi masing-masing untuk merayakan dan  mengisi hari raya itu.  Bahkan, di setiap daerah dan Negara, umat Islam memiliki istilah sendiri untuk menyebut Idul Fitri.
Sejatinya, menurut Prof HM Baharun, hakikat Idul Fitri adalah perayaan kemenangan iman dan ilmu atas nafsu di medan jihad Ramadhan. Setelah berhasill menundukkan nafsu,  kaum Muslim yang berpuasa di bulan Ramadhan dapat "kembali ke fitrah" (Idul Fitri), yakni kembali ke asal kejadian. Semoga. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436 H.

panduan shalat Idul Fithri dan Idul Adha?

adalah panduan ringkas dalam shalat ‘ied, baik shalat ‘Idul Fithri atau pun ‘Idul Adha. Yang kami sarikan dari beberapa penjelasan ulama. Semoga bermanfaat.
Hukum Shalat ‘Ied

Menurut pendapat yang lebih kuat, hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan mukim[1]. Dalil dari hal ini adalah hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,
أَمَرَنَا – تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- – أَنْ نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.”[2]
Di antara alasan wajibnya shalat ‘ied dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khon (murid Asy Syaukani).[3]
Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukannya.
Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kaum muslimin untuk keluar rumah untuk menunaikan shalat ‘ied. Perintah untuk keluar rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied itu sendiri bagi orang yang tidak punya udzur. Di sini dikatakan wajib karena keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju shalat. Jika wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya (yaitu shalat) otomatis juga wajib.
Ketiga: Ada perintah dalam Al Qur’an yang menunjukkan wajibnya shalat ‘ied
yaitu firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied.

Keempat: Shalat jum’at menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied
jika kedua shalat tersebut bertemu pada hari ‘ied. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib pula. Jika shalat jum’at itu wajib, demikian halnya dengan shalat ‘ied. –Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khon yang kami sarikan-.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang menyatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah (wajib bagi sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah sunnah (dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen), begitu pula kaum muslimin setelah mereka terus menerus melakukan shalat ‘ied. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan shalat ‘ied. Shalat ‘ied adalah salah satu syi’ar Islam yang terbesar. … Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi keringanan bagi wanita untuk meninggalkan shalat ‘ied, lantas bagaimana lagi dengan kaum pria?”[4]

Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Ied

Menurut mayoritas ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu shalat ‘ied dimulai dari matahari setinggi tombak[5] sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[6]
Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar  yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”[7]
Tujuan mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fithri.[8]

Tempat Pelaksanaan Shalat ‘Ied

Tempat pelaksanaan shalat ‘ied lebih utama (lebih afdhol) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى
“Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.”[9]
An Nawawi mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam shalat ‘ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.”[10]

Tuntunan Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Shalat ‘Ied

Pertama: Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat shalat. Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari ‘ied sebelum berangkat shalat.”[11]

Kedua: Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik. Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ketika shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.”[12]

Ketiga: Makan sebelum keluar menuju shalat ‘ied khusus untuk shalat ‘Idul Fithri.
Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.”[13]
Hikmah dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri.

Keempat: Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘ied. Dalam suatu riwayat disebutkan,

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”[15]
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil (laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).”[16]
Tata cara takbir ketika berangkat shalat ‘ied ke lapangan:

[1] Disyari’atkan dilakukan oleh setiap orang dengan menjahrkan (mengeraskan) bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab.[17]
[2] Di antara lafazh takbir adalah,

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar wa lillahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala pujian hanya untuk-Nya)” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lafazh ini dinukil dari banyak sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa lafazh ini marfu’ yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[18]
Syaikhul Islam juga menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar”, itu juga diperbolehkan.[19]

Kelima: Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat ‘ied. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah yang pernah kami sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman.
Sedangkan dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang ketika itu masih kecil- pernah ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab,

نَعَمْ ، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ
“Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.”[20]

Keenam: Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘ied, beliau lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.”[21]

Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.”[22]

Tidak Ada Shalat Sunnah Qobliyah ‘Ied dan Ba’diyah ‘Ied

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan shalat ‘ied dua raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun ba’diyah ‘ied.”[23]
Tidak Ada Adzan dan Iqomah Ketika Shalat ‘Ied

Dari Jabir bin Samuroh, ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.
“Aku pernah melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.”[24]
Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat ‘ied tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash Sholaatul Jaam’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”[25]

Tata Cara Shalat ‘Ied

Jumlah raka’at shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua raka’at. Adapun tata caranya adalah sebagai berikut.[26]

Pertama: Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya.
Kedua: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir.”[27]
Ketiga: Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”[28] Syaikhul Islam mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي
“Subhanallah wal hamdulillah wa  laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii war hamnii (Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku).” Namun ingat sekali lagi, bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.
Keempat: Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun menjawab,
كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).”[29]
Boleh juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada shalat ‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al A’laa)dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[30]
Kelima: Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dst).
Keenam: Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.
Ketujuh: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir -selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.
Kedelapan: Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Kesembilan: Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.

Tuesday, July 14, 2015

KETIKA HARI RAYA IDUL FITRI/ADHAH JATUH PADA HARI JUM'AT.

~ Ketika Hari Raya Idul Adha atau Idul Fitri jatuh pada hari Jumat, apakah kewajiban shalat Jum'at menjadi gugur? Apakah cukup dengan shalat Ied saja tanpa melakukan shalat Jumat?

JAWABAN :
Permasalahan yang ditanyakan merupakan satu masalah yang menjadi perbedaan pendapat para ulama. Perbedaan ini berangkat dari perbedaan mereka dalam menshahihkan hadits dan asar seputar masalah ini dalam satu sisi, dan makna yang dimaksud olehnya dalam sisi lain.

Di antara hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa`I, Ibnu Majah dan Hakim dari Iyas bin Abi Ramlah asy-Syami, dia berkata, "Saya melihat Mu'awiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam r.a., "Apakah ketika bersama Rasulullah saw. engkau pernah menjumpai dua hari raya bertemu dalam satu hari?" Zaid bin Arqam menjawab, "Ya, saya pernah mengalaminya". Mu'awiyah bertanya lagi, "Apa yang dilakukan Rasulullah saw. ketika itu?" Dia menjawab, "Beliau melakukan shalat Ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat. Beliau bersabda, "Barang siapa ingin melakukan shalat Jumat maka lakukanlah."

Juga hadits riwayat Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda, "Pada hari ini telah bertemu dua hari raya. Barang siapa tidak ingin menunaikan shalat Jumat, maka shalat Ied ini sudah menggantikannya. Sedangkan kami akan tetap menunaikan shalat Jumat." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Hakim).

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa pelaksanaan shalat Ied tidak mengakibatkan gugurnya kewajiban shalat Jumat. Mereka berdalil dengan keumuman dalil kewajiban shalat Jumat untuk seluruh hari. Di samping itu shalat Jumat dan shalat Ied adalah ibadah yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak bisa saling menggantikan. Di sisi lain hadits dan atsar tentang keringanan untuk tidak menunaikan shalat Jumat tidaklah kuat untuk mengkhususkan hadits tentang kewajiban shalat Jumat tersebut, karena di dalam sanadnya terdapat masalah. Ini adalah mazhab Hanafi dan Maliki.

Sedangkan Imam Ahmad berpendapat –dan ini adalah salah satu pendapat dalam Mazhab Syafi'i— bahwa kewajiban shalat Jumat menjadi gugur bagi orang yang menunaikan shalat Ied, namun orang itu tetap wajib menunaikan shalat zhuhur. Hal ini juga berdasarkan hadits dan atsar yang telah disebutkan sebelumnya.

Adapun jumhur ulama –termasuk Imam Syafi'I dalam pendapatnya yang paling shahih—berpendapat wajibnya shalat Jumat bagi orang-orang yang tinggal dalam kawasan yang di dalamnya dilaksanakan shalat Jumat dan gugur dari orang-orang yang tinggal di daerah pedalaman yang syarat-syarat kewajiban shalat Jumat terealisasi pada mereka. Karena mewajibkan mereka untuk menunaikan shalat Jumat setelah shalat Ied dapat menyebabkan kesulitan bagi mereka. Dalil jumhur ulama adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatha` bahwa Utsman bin Affan r.a. berkata dalam khutbanya, "Sesungguhnya pada hari ini telah bertemu dua Ied. Maka orang yang tinggal di daerah gunung jika ingin menunggu pelaksanaan shalat Jumat maka hendaknya dia menunggu, sedangkan orang yang ingin kembali ke rumahnya maka aku telah mengizinkannya."

Perkataan Utsman ini tidak ditentang oleh seorang sahabat pun, sehingga dianggap sebagai ijmak sukuti. Berdasarkan penjelasan Utsman inilah jumhur ulama memahami hadits keringanan untuk tidak melaksanakan shalat Jumat bagi orang yang telah melakuan shalat Ied.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka selama masalah ini merupakan masalah khilafiyah maka ia bersifat lapang, dan tidak sepatutnya seseorang membenturkan pendapat satu mazhab dengan pendapat mazhab yang lain. Dengan demikian, shalat Jumat tetap dilaksanakan di masjid-masjid, sebagai pengamalan terhadap hukum asalnya dan sebagai suatu kehati-hatian dalam pelaksanaan ibadah. Dan barang siapa yang kesulitan untuk menghadiri shalat Jumat atau ingin mengambil rukhshah dengan mentaklid pendapat yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat karena menunaikan shalat Ied, maka dia boleh melakukannya dengan syarat dia tetap melakukan shalat zhuhuR sebagai ganti dari shalat Jumat. Juga dengan tidak menyalahkan orang yang menghadiri shalat Jumat, mengingkari orang yang menunaikannya di masjid-masjid atau memicu fitnah dalam perkara yang di dalamnya para salaf saleh menerima adanya perbedaan pendapat.

Adapun gugurnya shalat Zhuhur karena telah dilaksanakannya shalat Ied maka pendapat yang diambil oleh jumhur ulama baik dahulu maupun sekarang adalah bahwa shalat Jum'at jika gugur karena suatu rukhshah (keringanan), uzur atau terlewatkan waktunya maka harus dilaksanakan shalat Zhuhur sebagai gantinya. Sedangkan Atha' berpendapat bahwa shalat Jum'at dan Zhuhur dianggap gugur karena telah dilaksanakannya shalat Ied. Dalil yang digunakan oleh Atha' adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, "Ibnu Zubair r.a. melaksanakan shalat Ied yang jatuh pada hari Jum'at pada awal siang (pagi hari) bersama kami. Lalu kami pergi untuk melaksanakan shalat Jum'at, namun ia tidak datang. Akhirnya, kami pun melaksanakan shalat sendiri. Ketika itu Ibnu Abbas r.a. sedang berada di Thaif. Ketika ia datang, maka kami menceritakan hal itu. Beliau pun berkata, "Ia telah melaksanakan sunnah."

Hanya saja riwayat ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil karena memiliki kemungkinan makna yang lain. Sebuah dalil yang mengandung berbagai kemungkinan menjadi batal nilai kedalilannya. Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Ibnu Zubair tidak melaksanakan shalat Zhuhur di rumahnya. Bahkan penjelasan Atha' bahwa mereka melaksanakan shalat sendiri (shalat Zhuhur) mengisyaratkan bahwa tidak ada yang mengatakan bahwa shalat Zhuhur menjadi gugur. Pendapat ini mungkin dapat ditafsirkan sebagai mazhab yang berpendapat kebolehan melaksanakan shalat Jum'at sebelum tergelincir matahari (zawal). Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad. Bahkan diriwayatkan dari Atha' sendiri, dimana ia pernah mengatakan, "Setiap shalat Ied dilaksanakan ketika telah masuk waktu Dhuha: shalat Jum'at, Iedul Adha dan Iedul Fitri." Penafsiran ini diperkuat oleh riwayat Wahb bin Kaysan yang diriwayatkan oleh Nasa`i: "Dua Ied telah berkumpul pada masa Ibnu Zubair. Maka ia pun mengakhirkan keluar rumah hingga siang semakin tinggi. Ia lalu keluar dan berkhutbah serta memanjangkan khutbahnya. Lalu ia turun dan melaksanakan shalat lalu tidak melasakanakan shalat Jum'at bersama masyarakat." Sebagaimana diketahui bahwa khutbah Jum'at dilaksanakan sebelum shalat, sedangkan khutbah Ied dilaksanakan setelah shalat. Oleh karena itu, Abul Barakat Ibnu Taimiyah berkata, "Penjelasannya adalah bahwa ia memandang kebolehan mendahulukan shalat Jum'at sebelum tergelinciri matahari. Zubair mensegerakan shalat Jum'at dan menjadikannya sebagai pengganti shalat Ied."

Ditambah lagi bahwa syariat tidak pernah menjadikan shalat fardhu empat kali dalam keadaan apapun, bahkan dalam keadaan sakit parah atau di tengah-tengah pertempuran. Shalat fardhu tetap dilaksanakan lima kali sebagaimana ditetapkan dalam dalil-dalil qath'I, seperti sabda Rasulullah saw. kepada seorang Arab badui yang bertanya tentang kewajiban Islam,

خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ
"Lima shalat dalam sehari semalam." (Muttafaq alaih dari hadits Thalhah bin Ubaidillah r.a.).

Nabi saw. juga pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal r.a. ketika mengutusnya ke Yaman,

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
"Beritahulah mereka bahwa Allah 'azza wa jalla mewajibkan mereka melakukan shalat lima kali dalam sehari semalam." (Muttafaq alaih dari hadits Ibnu Abbas r.a.).

Rasulullah saw. juga bersabda,

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ
"Lima shalat yang diwajibkan Allah kepada para hamba-Nya." (HR. Malik, Abu Dawud, Nasa`I dari hadits Ubadah bin Shamit r.a.).

Dan masih banyak lagi dalil yang menjelaskan mengenai hal ini. Jika shalat fardhu tidak dapat gugur dengan melaksanakan shalat fardhu lainnya, maka bagaimana mungkin dapat gugur dengan melaksanakan shalat Ied yang hukumnya hanyalah fardhu kifayah dalam skala komunitas dan sunah dalam sekala pribadi?
Syariat Islam telah mewajibkan shalat lima waktu ini dalam keadaan, tempat, person dan keadaan apapun, kecuali yang dikecualikan seperti wanita haid dan nifas. Bahkan, ketika Nabi saw. menjelaskan lama hidup Dajjal di dunia, beliau bersabda,

أَرْبَعُوْنَ يَوْماً، يَوْمٌ كَسَنَةٍ، وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ، وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ، وَسَاِئُر أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ
"Empat puluh hari. Satu hari seperti setahun, satu hari seperti sebulan dan satu hari seperti satu jum'at. Sisa hari-harinya seperti hari-hari kalian."

Para sahabat bertanya, "Pada hari yang seperti setahun itu, apakah kita cukup melaksanakan shalat satu hari saja?" Beliau menjawab, "Tidak. Tapi perkirakan kadar waktu-waktu shalat itu." (HR. Muslim).

Ini adalah nash bahwa shalat fardhu tidak dapat gugur pada keadaan atau waktu apapun.

Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa shalat Jum'at dan Zhuhur menjadi gugur dengan melaksanakan shalat Ied adalah tidak dapat dipegangi karena kelemahan dalilnya dalam satu sisi dan karena ketidakpastian penisbatan pendapat ini kepada ulama yang mengatakannya.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

Mufti Agung Prof. Dr. Syaikh Ali Jum'ah Muhammad
via Darul Ifta

Monday, July 13, 2015

DARAH HAID BAGI PEREMPUAN (BAGIAN KEDUA)

DENDA BAGI LAKI LAKI YANG MENYETUBUHI ISTRINYA YANG SEDANG HAID
عن ابن عباس:  عن النبي ص م .في
الذي،يأتي امرأته وهي حائض يتصدق بدينار او بنصف دينار
Dari Ibnu Abbas RA.  Nabi Saw bersabda..mengenai laki laki yang menyetubuhi istrinya yang sedang haid, bahwa ia harus bersedekah satu dinar atau setengah dinar.
       Para ulama berselisih pendapat mengenai hadis di atas.karena denda terhadap laki laki yang menyetubuhi istrinya sedang haid ini pun masih diperdebatkan oleh para ulama.
      As Syaukani berpendapat : hadis itu memang menunjukkan bahwa laki laki yang menyetubuhu istrinya sewaktu haid wajib membayar denda (kaffarat). Adapun ulama yang sepihak dengan ini adalah Ibnu Abbas, Hasan Al Bashri, Sa'id Bin Jabir, Qatadah, Al Auza'i , ishhaq dan ahmad.
       Tentang jumlah dendanya, merekapun berselisih pendapat.hasan dan,sa'id mengatakan, dendanya adalah memerdekakan budak perempuan.  Sedang yang lain berpendapat cukup satu dinar, dan,adapula yang setengah dinar,  itupun diperselisihkan. Karena riwayatnya dalam hal inipun berbeda.
       Tapi sesudah itu As Syaukani kmudian menyimpulkan bahwa yang .mengatakan satu atau setengah dinar adalah pendapat yang paling sah dari As Syafi'i dan Ahmad.
WANITA HAID TIDAK WAJIB SHALAT DAN PUASA.
    Memang telah ada kesepakatan diantara para Fuqaha' (ulama fiqh) bahwa wanita yang sedang haid itu tidak wajib mengqadha  shalatnya hanya ia diwajibkan untuk mengqadha puasanya.
       Dalam hal ini Imam Nawawi mengatakan dalam syarah muslim "para ulama berkata,bahwa perbedaan antara dua perkara itu yakni puasa dan shalat.  Kalau shalat itu banyak dan dilakulan berkali kali,  jadi sulitlah mengqadhanya.berbeda dengan puasa yang hanya setahun sekali saja wajib dilakukan. Sedang haid itu sendiri barang kali hanya berlangsung satu atau dua hari.
MAKAN BERSAMA DENGAN WANITA YANG MENGALAMI HAID
      Ada sebagian orang yang menanyakan bahwa  maksud dari firman Allah:
فاعتزلوا النساء في المحيض
Adalah jauhi dan jangan makan bersama mereka sewaktu haid. (QS AL BAQARAH)
Untunglah ada sebuah hadis yang menerangkan tidak seperti maksud di atas.  Tapi maksudnya hanyalah agar jangan menyetubuhi mereka.
APA SAJA YANG BOLEH DI LAKUKAN SUAMI KEPADA ISTRI YANG SEDANG MENGALAMI HAID
dari Anas bin Malik bahwa orang orang yahudi bila istri  mereka sedang haid , maka mereka tidak mau makan bersama dan tidal mengizinkan istrinya untuk tinggal di rumah. Maka bertanyalah para sahabat kepada Nabi Saw. Mengenai hal itu.sehingga Allah 'AZZA WAJALLA menurunkan wahyu kepada Nabi "wayas aluunaka fil mahiidh" dst.(mereka bertanya kepadamu tentang haid.katakanlah "haid itu adalah suatu kotoran.  "Oleh karena itu hendaklah kamu menjauhlan diri dari wanita yang sedang haid.) Dan sesudah itu Rasul Saw bersabda "lakukanlah apasaja selain nikah. "Dan menirut lafaz lainnya "selain jima'".(HR JAMA'AH SELAIN IMAM BUKHARI)
Banyak hadits hadits Rasul yang menjelaskan tentang hal hal yang boleh dilakulan suami terhadap istri yang sedang haid...  penulis mengambil kesimpulan dari sumber yg penulis baca bahwa.bersenang senang dengan istri boleh di bagian mana saja asal jangan pada kemaluaanya. Bahkan meletakkan sesuatu pada kemaluaanya cukup sebagai penghalang yang menghalanginya dari sentuhan suami. Boleh menikmati bagian tubuh diatas kain sarung istrinya tidak boleh lebih dari itu.
MENGGAULI ISTRI PADA DUBURNYA
dengan alasan apapun tidak boleh menggauli istri pada,duburnya. Itu tetap haram dilakulam sekalipim pihak istri rela untuk dilakulan. Bahkan dengan demikian ia sama sama berdosa.
Sesuai dalam sabda Rasul Saw:
ولا تأتوا النساء في أعجازهن ، او قال في أدبارهن
Janganlah kamu mendatangi istri istrimu pada dubur mereka. (HE IMAM AHMAD, IBNU MAJAH, AT TURMUDZI)
Sumber : FIQIH WANITA KH. SYAFI'I ABDULLAH
JIKA ADA PERTANYAAN ATAU INGIN MENAMBAHKAN SILAHKAN KOMENTAR DIBAWAH INI.MUDAH MUDAHAN KITA BISA MENJADI MEDIA PEMBELAJARAN UNTUK SAUDARA SAUDARI KITA .

Saturday, July 11, 2015

DARAH HAID BAGI PEREMPUAN

HAID
      darah haid darah yang keluar dari farji (alat kelamin) perempuan dalam keadaan sehat, bukan karena melahirkan anak ataupun robeknya selaput darah. Bagi mereka yang belum pernah haid pasti mereka bertanya kapan haid itu terjadi.
WAKTU HAID
       sebagian ulama berpendapat bahwa haid itu tidak akan terjadi pada seorang wanita bila ia belum berusia 9 tahun. Jadi apabipa ia melihat farjinya (alat kelamin )nya mengeluarkan darah pada umur sebelum 9 tahun,  maka itu darah penyakit bukan darah haid.
       Keluarnya darah ini biasanya berlangsung setiap bulan sekali sampai wanita mengalamai monopouse.  Tidak ada dalil yang menunjukkan batasan umur terhentinya haid.
WARNA DARAH HAID
       selain darah haid itu mempunyai sifat, maka darah haidpun mempunyai warna yang membedakan. Adapun warna-warna darah haid itu adalah :  hitam, merah, kuning, keruh, kelabu. Darah yang berwarna hitam atau merah, para ulama sepakat bahwa itu darah haid.  Jika darah haid berwarna kuning,  itu sebenarnya air yang tanpak seperti nanah yang bercampur dengam darah yang lebih kuat warna kuningnya. Sedangkan yang warna keruh itu memang darah. Kemudian yang warnanya kelabu, itupun darah juga yang warnanya seperti warna debu tanah. Dan mengenai darah ini pendapat ulama berbeda pendapat.
       Menurut Ulama Imam Syafi'i dan Hanafi, keduanya adalah darah haid bila keluar masih dalam keadaan haid, yaitu 10 hari menurut Imam Hanafi atau 15 hari menurut Imam Syafi'i.
BERAPA LAMAKAH DARAH HAID ITU KELUAR?
       Darah haid itu keluar paling sedikit 3 hari 3 malam, paling lama 5-15 hari. Hal tersebut bukan berarti darah itu terus menerus keluar tanpa henti. Tetapi darah keluar kemudian berhenti,sesudah itu keluar lagi sampai seteruanya. Itu lah yang di sebut darah haid. Syeikh Mahmud dalam KhitabvAs Subki menyatakan "TIDAK DIRAGUKAN LAGI BAHWA MASA HAID YANG TIGA ATAU SEPULUH HARI ITU TIDAK DIHARUSKAN KELUARNYA DARAH SECARA TERUS MENERUS SELAMA ITU TANPA ADA HENTINYA. TETAPI YAMG TERPENING ADALAH DARAH ITU KELUAR PADA AWAL DAN AKHIR MASA HAID. BAHKAN KALAU SEORANG WANITA MELIHAT DIRINYA MENGELUARKAN DARAH PADA SAAT TERBIT FAJAR DI HARI SABTU MISALNYA,  DAN DARAH ITU TERUS MENERUS KELUAR DAN BARU BERHENTI KETIKA TERBENAM MATAHARI PADA HARI SENIN,  ITU BUKANLAH DARAH HAID."
Usman bin Ali Ash r.a.  mengatakan:
الحائض إذا جاوزت عشرة أيام فهي بمنزلة المستحاضة تغتسل وتصلى
bila wanita haid lebih dari 10 hari, m a kedudukannya seperti wanita istihadhoh, dia wajib mandi lalu shalat.
MASA SUCI DIANTARA DUA HAID
       masa suci antara dua haid adalah minimal 15 hari.  Demikian pendapat kebanyakan ulama,meskipun ada juga golongam yang berpendapat 13 hari saja.
       Adapun masa suci yang terpanjanh tidak ada batasannya. Karena kadang kadang mencapai lebih dari sati tahun, kecuai bagi yamg menderita istihadhoh. Dalam hal ini haidnya dihitung 10 hari dan sucinya 15 hari. Sedangkan nifasnya dihitung 40 hari. Syarat ini juga berlaku bagi wanita yang baru haid.
Adapun bagi yang sudah mwngalami haid sehingga ia tahu berapa,lama kebiasaan ia datang bulan, dan ternyata waktu haidnya atau nifasnya lebih dari biasanya yaitu melebihi masa haid dan nifas,terpanjang, maka ia harus berpegang pada kebiasaannya. Dan selebihnya dianggap istihadhoh.
LARANGAN BAGI ORANG YANG SEDANG HAID
       wanita yang sedang haid tidak di bolehkan (HARAM) melakukan Shalat, puasa, masuk masjid, membaca atau menyentuh al quran , thawaf mengelilingi ka'bah dan bersetubuh. Disamping itu haid,merupakan salah,satu tanda telah Baligh (dewasa) seorang remaja, putri.
SEBAB HAID
       adapun sebab terjadinya haid adalajh fitrah yang dianugerahkan kepada anak,cucu adam kepada,kaum wanita sebagai ujian, apakh dengan ini mereka tetap patuh kepadaNYA  sehingga berhak mendapat pahala dariNYA atau tidak. Di dalah hadist diterangkan:
إن،هذا أمر كتبه الله على بنات آدم
Sebenarnya ini adalah hal yang menjadi ketetapan Allah atas putri putri Nabi,Adam a.s. (HR MUTTAFAQUN 'ALAIH)
BERSETUBUH KETIKA DARAH HAID SUDAH BERHENTI
       menurut sebagian Ulama persetubuhan yang dilakukan sehabis berhentinya darah haid sebelum mandi adalah haram (tidak boleh), sekalipun berhenti itu pada masa,akhirnya haid, yang terpanjang. Karena Allah berfirman:
ولا تقربوهن حتى ىيطهرن
Dan janganlah kamu (laki laki) mendekati mereka (perempuan) sebelum mereka suci. (QS AL BAQARAH 222)
SUMBER : FIQIH WANITA KH. SYAFI'I ABDULLAH
      

TIPS MEMILIH BUSANA SESUAI SYARIAT "WANITA"

Memilih busana untuk dipergunakan memang boleh saja, akan tetapi jangan sampai ketika Anda memilih busana muslim untuk dipergunakan, namun melanggar syariat agama.

Di dalam syariat agama, berbusana mulsim yang baik adalah busana yang bisa menutup aurat. Oleh sebab itu sebaiknya jangan selalu asal membeli pakaian tanpa melihat apakah busana muslim ini patut untuk dipergunakan. Contoh saja seperti busana muslim ala Dian Pelangi dan Dewi Neelam, salah satu anggota Hijabers Community Indonesia.

Berikut ini adalah tips memilih busana muslim yang tepat, dan sesuai syariat agama :

Pilih Baju Yang Sedikit Longgar
Memilih baju sebaiknya jangan terlalu sempit hingga memperlihatkan bentuk tubuh Anda. Hal ini sama saja Anda tidak menggunakan sebuah pakaian, dan melanggar syariat agama. Sebaiknya pilihlah baju yang memang memiliki ukuran sedikit longgar dengan lekuk tubuh Anda.

Pilih Baju Dengan Lengan Panjang
Bagi wanita muslim, tangan dan lengan merupakan bagian aurat yang sebaiknya tidak diperlihatkan. Oleh sebab itu banyak wanita muslim memilih pakaian yang berjenis lengan panjang untuk menutup bagian tangan dan lengan mereka.

Pilih Celana Berjenis Rok Harem Atau Yasmine
Dalam memilih celana juga tidak diperbolehkan dengan model celana yang ketat, dan memperlihatkan lekuk tubuh Anda bagian bawah. Meski Anda merasa bahwa menggunakan celana seperti demikian (Jeans) terasa nyaman, akan tetapi jenis celana tersebut juga melanggar syariat agama.

Sebaiknya Anda memilih jenis celana Rok Harem atau Yasmine yang memang memiliki model seperti ala timur tengah ini untuk menutup aurat bagian bahwa Anda. Selain karena modelnya yang terlihat longgar, celana rok ini juga sangat pantas untuk dikombinasikan dengan jenis pakaian muslim yang longgar, dengan diselingi kerudung atau hijab.

Akan tetapi jika Anda memilih untuk menggunakan celana (Jeans), sebaiknya serasikan pakaian Anda dengan jenis pakaian jenis tunik.

Demikian lah tips dalam memilih busana muslim yang tepat sesuai syariat agama.

SUMBER : PLUS BUSANA

Friday, July 10, 2015

7 TIPE ISTRI YANG SERING DICERAIKAN SUAMI

RASULULLAH Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Maukah kamu keberitahu suatu harta simpanan (perhiasan) yang sangat baik? Yaitu wanita shalihah, yang apabila kamu melihatnya, ia menyenangkan. Apabila kamu perintah, dia patuh. Dan apabila ditinggal pergi, dia selalu menjaga diri dan harta suaminya. ” (Riwayat Abu Dawud)
Kalau dilihat dia menyenangkan, hal itu disebabkan budi luhur, pakaian bersih, dandanan yang serasi di hadapan suaminya, dan berusaha semaksimal mungkin untuk tampil menarik hanya di depan suami dan anak-anaknya.
Jika diperintahkan, dia akan patuh, menunjukkan ketaatan dan baktinya pada suaminya. Dia ingin selalu memberikan kepuaasan bagi suaminya.
Senantiasa memelihara diri dan harta suaminya, menggambarkan betapa besar kekuatan agama dan ketebalan imannya terhadap Allah dan Rasul-Nya. Walau suaminya tidak ada, ia tetap memelihara kehormatan diri dan harta suaminya.
Bila seorang wanita tidak shalihah, dan memiliki sifat atau kebiasaan yang buruk, suka menyusahkan suaminya, tentulah itu bukan perhiasan bagi seorang suami. Bahkan, bisa jadi suami tidak betah bersamanya, kemudian menceritakannya.
Jika engkau, wahai ukhti, menginginkan rumah tangga yang bahagia di dunia dan akhirat, buanglah jauh-jauh dari dirimu, ke-7 sifat tersebut. Bila tidak, engkau celaka di dunia dan akhirat.
Berikut ini tujuh tipe wanita yang sering diceraikan suami.
1. Tidak punya rasa malu. Yang tidak malu melakukan hal-hal yang dilarang Allah. Ia jauh dari sifat takwa dan banyak melakukan maksiat.
2. Ausyarah (jorok) Yaitu tidak pandai mengatur rumah, malas merapikan diri, dan malas melakukan apapun, sehingga dirinya, anak-anak dan rumahnya, kotor dan tidak menyenangkan.
3. Asysyakasah (berani/menantang) Yaitu suka membebani suaminya di luar kemampuannya, sehingga mendorong suami melakukan hal-hal yang dimurkai Allah.
4. Innah (berani/menantang) Yang tidak ingin diperintah suaminya untuk melakukan hal-hal yang baik. Berani melanggar apa yang diperintahkan, bahkan menentang si suami dengan tetap melakukan maksiat.
5. Bitnah (mementingkan isi perut dan banyak menuntut) Yang tidak suka berinfak dan enggan mengeluarkan zakat. Selalu menumpuk harta kekayaan dan mengnyangkan perut dengan makanan-makanan yang tiada habisnya. Tidak terlintas dibenaknya untuk menyantuni fakir miskin dan anak yatim. Untuk memenuhi segala keinginan nafsunya, ia mendorong suaminya untuk melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan kemurkaan Allah.
6. Bahriyah (mendorong suami untuk berbuat jahat) Yaitu selalu menghalangi suami untuk berbuat baik. Jika melihat suami menyisihkan beberapa persen dan pendapatan untuk zakat dan infak, ia sibuk mencerca dan mengadu pada suami tentang ekenomi rmah tangga yang morat-marit, kebutuhan anak yang semakin membesar, pakaian yang telah robek, sepatu yang telah usang dan sebagainya, sehingga suami menjadi ragu-ragu.
7. Tidak aktif. Yaitu malas berbuat apapun. Tidak punya keinginan untuk menambah ilmu duniawi maupun ukhrawi.
Sumber : Majalah Fatawa Volume IV No 12 I Dzulhijjah 1429 H